“Mungkin hasil yang dicapai seorang shaaim (yang berpuasa) hanya lapar dan haus semata. Dan bisa jadi hasil yang diperoleh oleh orang yang shalat malam (qiyamul-lail) hanyalah berjaga.” (Riwayat Ahmad dan Hakim).
Ada tiga fenomena yang menonjol di bulan Ramadhan, yang menggambarkan betapa masih carut marutnya pemahaman umat Islam terhadap ajarannya sendiri.
Pertama, sebagian besar kaum Muslimin baru mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) setelah datangnya bulan Ramadhan. Selama sebelas bulan penuh mereka menjauhi al-Qur’an, menjauhi masjid, menjauhi kebaikan. Sebaliknya, mereka mendekati tempat-tempat kemungkaran, merapat pada kejahatan, dan melalaikan Allah.
Tatkala Ramadhan tiba, mereka lalu seolah-olah baru tersentak kaget. Mereka bersiap menyambut puasa dengan mendatangi masjid beramai-ramai, mereka seolah tenggalam dalam kekhusyukan dan kesahduan puasa di bulan Ramadhan. Mereka terlihat bersimpuh, merendahkan diri seolah-olah hendak menipu Allah.
Pertanyaannya, bukankah mereka menyadari bahwa Tuhan pencipta bulan Ramadhan juga pencipta bulan Sya’ban dan Syawwal? Bukankah mereka telah mengetahui bahwa Allah Maha Melihat perbuatan manusia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan-bulan lainnya? Lalu mengapa mereka baru terlihat sibuk beribadah pada bulan Ramadhan saja?
Wahai saudaraku, Allah senantiasa melihat, mengetahui, dan mencatat semua amalan kita, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan-bulan lainnya. Untuk itu, jangan berhenti berbuat baik hanya di bulan Ramadhan saja. Teruskan…!
Kedua, pada malam-malam bulan Ramadhan sebagian kaum Muslimin meramaikannya dengan shalat tarawih berjama’ah. Mereka berdatangan dari segala penjuru hingga masjid-masjid dan mushalla-mushalla penuh sesak bahkan meluber hingga ke jalan-jalan. Pemandangan ini sungguh sangat menggembirakan, tapi pertanyaannya, kemana mereka setelah Ramadhan berakhir?
Padahal shalat tarawih kedudukannya hanyalah sunnah, sedang shalat lima waktu adalah fardhu, yang wajib dilaksanakan secara berjama’ah di masjid (bagi kaum pria yang mampu dan tidak ada halangan).
Pemahaman yang salah kaprah seperti yang dipraktikkan selama ini sudah saatnya diperbaiki. Kaum Muslimin sudah saatnya lebih cerdas dari sebelumnya. Mereka harus tahu bahwa amalan yang wajib harus diutamakan daripada amalan sunnah. Menjalankan shalat fardhu berjama’ah lebih penting dan lebih utama daripada shalat tarawih berjama’ah.
Ketiga, kebiasaan buruk selama puasa adalah memperpanjang tidur pada siang hari. Ada sebagian yang meneruskan tidurnya setelah shalat Subuh hingga siang hari dan ada pula yang tidur mulai dari Dzuhur hingga Ashar. Dengan tidur sepanjang itu, dimana kenikmatan menjalankan puasa? Di mana kita berlatih menahan lapar, merasakan pahit getirnya nasib para fuqara dan masakin?
Lebih ironis lagi jika malam-malam hari Ramadhan dihabiskan untuk begadang dengan melakukan perbuatan yang sia-sia, mendengarkan lagu-lagu lewat radio, menonton televisi hingga larut malam, atau melakukan permainan lainnya, sementara siang harinya justru dipakai untuk tidur. Lalu di mana makna iman di bulan Ramadhan?
Tidur siang hari memang tidak dilarang, jika dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Tetapi jika dilakukan dalam tempo yang sangat panjang, lalu di mana makna puasa? Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) dan para sahabat memanfaatkan bulan Ramadhan untuk berperang, lalu pantaskah jika kita justru menghabiskannya untuk tidur-tiduran?
Ramadhan Bulan “Jihad”, Bukan “Hari Tidur”
Unknown | 21.19 | 0
comments
Related posts:
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar