Pengertian Hak dan
Kewajiban
Hak adalah kekuasaan seseorang
untuk melakukan sesuatu, sedangkan Kewajiban adalah sesuatu yang harus
dikerjakan.
Membicarakan kewajiban dan hak
suami istri,terlebih dahulu kita membicarakan apa yang dimaksud dengan
kewajiaban dan apa yang dimaksud dengan hak. Adalah Drs. H. Sidi Nazar Bakry
dalam buku karangannya yaitu Kunci Keutuhan Rumah Tangga Yang Sakinah
mendefinisikan kewajiban dengan sesuatu yang harus dipenuhi dan dilaksanakan
dengan baik.Sedangkan hak adalah sesuatu yang harus diterima.
Lantas, pada pengertian diatas
jelas membutuhkan subyek dan obyeknya.Maka disandingkan dengan kata kewajiban
dan hak tersebut,dengan kata suami dan istri,memperjelas bahwa kewajiban suami
adalah sesuatu yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk istrinya.Sedangkan
kewajiaban istri adalah sesuatu yang harus istri laksanan dan lakukan untuk
suaminya.Begitu juga dengan pengertian hak suami adalah,sesuatu yang harus
diterima suami dari isterinya.Sedangkan hak isteri adalah sesuatu yang harus
diterima isteri dari suaminya.Dengan demikian kewajiban yang dilakukan oleh
suami merupakan upaya untuk memenuhi hak isteri.demikian juga kewajiban yang
dilakukan istri merupakan upaya untuk memenuhi hak suami,sebagaiman yang
Rosulullah SAW jelasakan :
اﻻ إن ﻟﮝﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﺴﺎﺋﮝﻢ ﺣﻗﺎ ﻮﻟﻨﺴﺎﺋﮝﻢﻋﻠﻴﮑﻢ
ﺣﻗﺎ
‘’ Ketahuilah sesungguhnya kalian mempunyai
hak yang harus (wajib) ditunaikan oleh istri kalian,dan kalian pun memiliki hak
yang harus (wajib) kalian tunaikan’’.(Hasan: Shahih ibnu Majah no.1501.Tirmidzi
II:315 no:1173 dan ibnu Majah I:594 no:1851)
Begitulah kehidupan berumah
tangga,Mebutuhkan timbal balik yang searah dan sejalan.Rasa salaing
membutuhkan,memenuhi dan melengkapi kekurangan satu dengan yang lainnya.tanpa
adanya pemenuhan kewajiban dan hak kedunya,maka keharmonisan dan keserasian
dalam berumah tangga akan goncang berujung pada percekcokan dan perselisihan.
Dengan dilangsungkan akad
nikah antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang dilakukan oleh
walinya, terjalinlah hubungn suami isteri dan timbul hak dan kewajiaban
masing-masing timbal-balik.
Macam-macam Hak Antara
Suami dan Istri
Hak-hak dalam perkawinan itu
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hak bersama, hak isteri yang menjadi kewajiban
suami, dan hak suami yang menjadi kewajiban isteri.
1.
Hak-hak Bersama
Hak –hak
bersama antara suami dan isteri adalah sebagai berikut :
a. Halal bergaul antara suami-isteri dan masing-masing dapat
bersenang-senang satu sama lain.
b. Terjadi hubungan mahram semenda; isteri menjadi mahram ayah
suami, kakeknya, dan seterusnya ke atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu
isteri, neneknya, dan seterusnya ke atas.
c. Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri sejak
akad nikah dilaksanakan. Isteri berhak menerima waris atas peninggalan suami.
Demikian pula, suami berhak waris atas peninggalan isteri, meskipun mereka
belum pernah melakukan pergaualan suami-isteri.
d. Anak yang lahir dari isteri bernasab pada suaminya (apabila
pembuahan terjadi sebagai hasil hubungan setelah nikah).
e. Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta
kehidupan yang harmonis dan damai. Dalam hubungan ini Q.S. An-Nisa:19
memerintahkan,
... وَعَاشِرُ هُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan gaulilah isteri-isteri itu dengan baik……” (QS. An-Nisa :
19)
Mengenai hak dan kewajiban
bersama suami isteri, Undang-Undang Perkawinan menyabutkan dalam Pasal 33
sebagai berikut, “Suami isteri wajib cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.”
2. Hak-hak Isteri
Hak-hak isteri yang menjadi
kewajiban suami dapat dibagi dua: hak-hak kebendaan, yaitu mahar (maskawin) dan
nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, misalnya berbuat adil di antara para
isteri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan isteri dan
sebagainya.
a.
Hak-hak Kebendaan
1)
Mahar (Maskawin)
Q.S. An-Nisa
ayat 24 memerintahkan, “Dan berikanlah maskawin kepada perempuan-perempuan
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka dengan senang hati memberikan
sebagian maskawin itu kepadamu, ambillah dia sebagai makanan yang sedap lagi
baik akibatnya.”
Dari ayat
Al-Qur’an tersebut dapat diperoleh suatu pengertian bahwa maskawin itu adlah
harta pemberian wajib dari suami kepada isteri, dan merupakan hak penuh bagi
isteri yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut makan
maskawin apabila diberikan oleh isteri dengan sukarela.
Q.S.
An-Nisa: 24 mengajarkan, “…. Isteri-isteri yang telah kamu campuri, berikanlah
kepada mereka mahar sempurna, sebagai suatu kewajiban, dan tidak ada halangan
kamu perlakukan mahar itu sesuai dengan kerelaanmu (suami isteri), setelah
ditentukan ujudnya dan kadarnya….”
Dari ayat
tersebut diperoleh ketentuan bahwa isteri berhak atas mahar penuh apabila telah
dicampuri. Mahar merupakan suatu kewajiban atas suami, dan isteri harus tahu
berapa besar dan apa ujud mahar yang menjadi haknya itu. Setelah itu,
dibolehkan terjadi persetujuan lain tentang mahar yang menjadi hak isteri itu,
misalnya isteri merelakan haknya atas mahar, mengurangi jumlah, mengubah ujud
atau bahkan membebaskannya.
Hadits Nabi
riwayat Ahmad, Hakim, dan Baihqi dari Aisyah mengjarkan, “Perempuan-perempuan
yang paling besar mendatangkan berkah Allah untuk suaminya adalah yang paling
ringan biayanya.” Yang diamksud dengan ringan biayanya ialah yang tidak
memberatkan suami, sejak dari mahar sampai kepada nafkah, pakaian, dan
perumahan dalam hidup perkawinan.
Hadits
riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, dan Nasai dari Sahl Bin Sa’ad
menyatakan bahwa Nabi pernah mengawinkan salah seorang sahabatnya dengan
maskawin mengajar membaca Al-Qur’an yang dihafalnya (menurut salah satu
riwayat, yang dihafalnya itu adalah Surah Al-Baqarah dan Ali Imran).
Hadits
riwayat Bukhari-Muslim, dan lain-lain dari Anas menyatakan bahwa Nabi pernah
memerdekakan Sofiah yang kemudian menjadi isteri beliau, dan yang menjadi
maskawinnya adalah memerdekakannya itu.
2)
Nafkah
Yang
dimaksud dengan nafkah adalah mencukupkan segala keperluan isteri, meliputi
makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan,
meskipun isteri tergolong kaya.
Q.S.
Ath-Thalaq : 6 mengajarkan, “Tempatkanlah isteri-isteri dimana kamu tinggal
menurut kemampuanmu; janganlah kamu menyusahkan isteri-isteri untuk
menyempitkan hati mereka. Apabila isteri-isteri yang kamu talak itu dalam
keadaan hamil, berikanlah nafkah kepada mereka hingga bersalin … “ Ayat
berikutnya (Ath-Thalaq :7) memrintahkan, “ Orang yang mampu hendaklah memberi
nafkah menurut kemampuannya, dan dan orang yng kurang mampu pun supaya memberi
nafkah dari harta pemberian Allah kepadanya; Allah tidak akan membebani
kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah kepadanya ….”
Hadits
riwayat Muslim menyenutkan isi khotbah Nabi dalam haji wada’. Antara lain sebagai
berikut, “….. Takuttlah kepada Allah dalam menunaikan kewajiban terhadap
isteri-isteri; itu tidak menerima tamu orang yang tidak engkau senangi; kalau
mereka melakukannya, boleh kamu beri pelajaran dengan pukulan-pukulan kecil
yang tidak melukai; kamu berkewajiban mencukupkan kebutuhan isteri mengenai
makanan dan pakaian dengan makruf.”
b.
Hak-hak Bukan
Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami
terhadap isterinya, disimpulkan dalam perintah Q.S. An-Nisa: 19 agar para suami
menggauli isteri-isterinya dengan makruf dan bersabar terhadap hal-hal yang
tidak disenangi, yang terdapat pada isteri.
Menggauli
isteri dengan makruf dapat mencakup:
1) Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang
baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan
ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Hadits
riwayat Turmudzi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah r.a. mengajarkan,
“Orang-orang mukmin yang paling baik budi perangainya, dan orang-orang yang
paling baik di antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap
isteri-isterinya.”
Hadits
riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. mengajarkan, “Bersikap
baiklah kamu terhadap isteri-isterimu sebab orang perempuan diciptakan
berkodrat seperti tulang rusuk; yang paling lengkung adalah tulang rusuk bagian
atas; apabila kamu biarkan akan tetap meluruskannya, ia akan patah dan apabila
kamu biarkan akan tetap lengkung, bersikap baiklah kamu terhadap para isteri.
Termasuk
perlakuan baik yang menjadi hak isteri ialah, hendaknya suami selalu berusaha
agar isteri mengalami peningkatan hidup keagamaannya, budi pekertinya, dan
bertambah pula ilmu pengtahuannya. Banyak jalan yang dapat ditempuh untuk
memenuhi hak isteri, misalnya melaui pengajian-pengajian, kursus-kursus, kegiatan
kemasyarakatan, bacaan buku, majalah, dan sebagainya.
2) Melindungi dan menjaga
nama baik isteri
Suami
berkewajiban melindungi isteri serta menjaga nama baiknya. Hal ini tidak
berarti bahwa suami harus menutupi-nutupi kesalahan yang memang terdapat pada
isteri. Namun, adalah menjadi kewajiban suami untuk tidak membeberkan
kesalahan-kesalahan isteri kepada orang lain. Apabila kepada isteri hal-hal
yang tidak benar, suami setelah melakukan penelitian seperlunya, tidak apriori,
berkewajiban memberikan keterangan-keterangan kepada pihak-pihak yang
melontarkan tuduhan agar nama baik isteri jangan menjadi cemar.
3) Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri
Hajat
biologis adalah kodrat pembawaan hidup. Oleh karena itu, suami wajib
memperhatikan hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup
perkawinan anatara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan
yang dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam hidup
perkawinan; bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan isteri disebabkan adanya
perasaan kecewa dalam hal ini.
Salah
seorang sahabat Nabi bernama Abdullah bin Amr yang terlalu banyak menggunakan
waktunya untuk menunaikan ibadah; siang untuk melakukan puasa dan malam harinya
untuk melakukan shalat, diperingatkan oleh Nabi yang antara lain. “Isterimu
mempunyai hak yang wajib kau penuhi.
Demikian
pentingnya kedudukan kebutuhan biologis itu dalam hidup manusia sehingga
Islam menilai hubungan suami isteri yang
antara lain untuk menjaga kesucian diri dari perbuatan zina itu sebagai salah
satu macam ibadah yang berpahala. Dalam hal ini hadits Nabi riwayat Muslim
mengajarkan, “Dan dalam hubungan kelaminmu bernilai shadaqah.” Mendengar kata
Nabi itu para sahabat bertanya, “ Ya Rasulullah, apakah salah seorang di antara
kita memenuhi syahwatnya itu memperoleh pahala?” Nabi menjawab, “Bukkankah
apabila ia melakukannya dengan yang haram akan berdosa? Demikian sebaliknya,
apabila ia memenuhinya dengan cara yang halal akan mendapat pahala.”
3. Hak-hak Suami
Hak-hak suami yang wajib
dipenuhi isteri hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan sebab menurut hukum
Islam isteri tidak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk
mencukupkan kebutuhan hidup keluarga. Bahkan, lebih diutamakan isteri tidak
usah ikut bekerja mencari nafkah jika suami memang mampu memenuhi kewajiban
nafkah keluarga dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar isteri dapat mencurahkan
perhatiannya untuk melaksanakan kewajiban membina keluarga yang sehat dan
mempersiapkan generasi yang saleh. Kewajiban ini cukup berat bagi isteri yang
memang benar-benar akan melaksanakan dengan baik. Namun, tidak dapat dipahamkan
bahwa Islam dengan demikian menghendaki agar isteri tidak pernah melihat dunia
luar, agar isteri selalu berada di rumah saja. Yang dimaksud ialah agar isteri
jangan sampai ditambah beban kewajibannya yang telah berat itu dengan ikut
mencari nafkah keluarga. Berbeda halnya apabila keadaan memang mendesak, usaha
suami tidak dapat menghasilkan kecukupan nafkah keluarga. Dalam batas-batas
yang tidak memberatkan, isteri dapat diajak ikut berusaha mencari nafkah yang
diperlukan itu.
Hak-hak suami dapat disebutkan
pada pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang menyangkut hidup
perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada isteri dengan cara yang baik dan
layak dengan kedudukan suami isteri.
a.
Hak Ditaati
Q.S. An-Nisa : 34 mengajarkan
bahwa kaum laki-laki (suami) berkewajiban memimpin kaum perempuan (isteri) karena laki-laki mempunyai kelebihan
atas kaum perempuan (dari segi kodrat kejadiannya), dan adanya kewajiban
laki-laki memberi nafkah untuk keperluan keluarganya. Isteri-isteri yang saleh
adalah yang patuh kepada Allah dan kepada suami-suami mereka serta memelihara
harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka serta memelihara
harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka dalam keadaan tidak
hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta taufik-Nya kepada isteri-isteri
itu. Hakim meriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : سَألْتُ رسول
الله صلّى الله عليه وسلّم : اَىُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقَّا عَلَى الْمَرْأَةِ ؟ قَالَ
: زَوْجُهَا. قَالَتْ : فَأَ ىُّ النَّاسِ اَعْظَمُ حَقَّا عَلىَ الرَّ جُلِ ؟ قَالَ
: اُمُّهُ (رواه الحا كم)
“Dari Aisyah, ia berkata : Saya bertanya
kepada Rasulullah SAW : Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap
perempuan? Jawabnya : Suaminya. Lalu saya bertanya lagi: Siapakah orang yang
paling besar haknya terhadap laki-laki? Jawabannya: Ibunya.”
Dari bagian pertama ayat 34
Q.S. : An-Nisa tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa kewajiban suami
memimpin isteri itu tidak akan terselenggara dengan baik apabila isteri tidak
taat kepada pimpinan suami. Isi dari pengertian taat adalah :
1) Isteri supaya bertempat tinggal bersama suami di rumah yang
telah disediakan
Isteri
berkewajiban memenuhi hak suami bertempat tinggal di rumah yang telah
disediakan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)
Suami telah memenuhi
kewajiban membayar mahar untuk isteri.
b)
Rumah yang disediakan
pantas menjadi tempat tinggal isteri serta dilengkapi dengan perabot dan alat
yang diperlukan untuk hidup berumah tangga secara wajar, sederhana, tidak
melebihi kekuatan suami.
c)
Rumah yang disediakan cukup
menjamin keamanan jiwa dan harta
bendanya, tidak terlalu jauh dengan tetangga dan penjaga-penjaga keamanan.
d)
Suami dapat menjamin
keselamatan isteri di tempat yang disediakan.
2) Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila melanggar
larangan Allah
Rasulullah
SAW menguatkan dalam sabdanya :
لَوْ اَمَرْتُ اَحَدَكُمْ اَنْ يَّسْجُدَ
لِأ حَدٍ لَأ مَرْتُ الْمَرْأَةَ اَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَ مِنْ عِظَمٍ حَقِّهِ عَلَيْهَا
(رواه ابوداود والنر مذى وابن ما جه وابن حبان(
“Andaikata
aku menyuruh seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan
perempuan bersujud kepada suaminya, karena begitu besar haknya kepadanya.”
Isteri
wajib memenuhi hak suami, taat kepada perintah-perintahnya apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a) Perintah yang dikeluarkan suami termasuk hal-hal yang ada
hubungannya dengan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, apabila misalnya
suami memerintahkan isteri untuk membelanjakan harta milik pribadinya sesuai
keinginan suami, isteri tidak wajib taat sebab pembelanjaan harta milik pribadi
isteri sepenuhnya menjadi hak isteri yang tidak dapat dicampuri oleh suami.
b) Perintah yang dikeluarkan harus sejalan dengan ketentuan
syari’ah. Apabila suami memerintahkan isteri untuk menjalankan hal-hal yang
bertentangan dengan ketentuan syari’ah, perintah itu tidak boleh ditaati.
Hadits Nabi riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasai dari Ali mengajarkan,
“Tidak dibolehkan taat kepada seorang pun Dalam bermaksiat kepada Allah; taat
hanyalah dalam hal-hal yang makruf.”
c) Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya yang member hak isteri,
baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat bukan kebendaan.
3) Berdiam di rumah, tidak keluar kecuali dengan izin suami
Isteri
wajib berdiam di rumah dan tidak keluar kecuali dengan izin suami apabila
terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk isteri.
b) Larangan keluar rumah tidak berakibat memutuskan hubungan
keluarga-keluarganya, isteri tidak wajib taat. Ia boleh keluar untuk
berkunjung, tetapi tidak boleh bermalam tanpa izin suami.
4) Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin suami
Hak suami
agar isteri tidak menerima masuknya seseorang tanpa izinnya, dimaksudkan agar
ketentraman hidup rumah tangga tetap terpelihara. Ketentuan tersebut berlaku
apabila orang yang dating itu bukan mahram isteri. Apabila orang yang dating
adalah mahramnya, seperti ayah, saudara, paman, dan sebagainya, dibenarkan
menerima kedatangan mereka tanpa izin suami.
Kewajiban
taat yang meliputi empat hak tersebut disertai dengan syarat-syarat yang tidak
memberatkan isteri.
b. Hak Memberi
Pelajaran
Bagian kedua dari ayat 34 Q.S.
An-Nisa mengajarkan, apabila terjadi kekhwatiran suami bahwa isterinya bersikap
membangkang (nusyus), hendaklah nasihat secara baik-baik. Apabila dengan
nasihat, pihak isteri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur
dengan isteri. Apabila masih belum juga kembali taat, suami dibenarkan member
pelajaran dengan jalan memukul (yang tidak melukai dan tidak pada bagian muka).
Hadits Nabi riwayat
Bukhari-Muslim dari Abdullah bin Zam’ah mengatakan, “Apakah salah seorang di
antara kamu suka memukul isterinya seperti ia memukul budak pada siang hari,
kemudian pada malam hari mengumpulinya.”
Dari banyak hadits yang
memperingatkan agar suami menjauhi memukul isteri itu, dapat kita peroleh
ketentuan bahwa Al-Qur’an membolehkan suami member pelajaran isteri dengan jalan memukul itu hanya
berlaku apabila isteri memang tidak mudah diberi pelajaran dengan cara yang
halus. Itu pun baru dilakukan dalam tingkat terakhir, dan dengan cara yang
tidak mengakibatkan luka pada badan isteri dan tidak pula pada bagian muka. Kaum
wanita pada dasarnya amat halus perasaannya. Nasihat-nasihat yang biasa
biasanya sudah cukup untuk mengadakan perubahan sikapa terhadap suaminya. Kalau
hal ini belum juga cukup, pisah tidur sudah dipandang sebagai pelajaran yang
lebih berat. Namun, apabila pelajaran tingkat kedua ini belum juga membekas,
pelajaran yang paling pahit dapat dilakukan, tetapi dengan cara yang tidak akan
mengakibatkan cedera dan tidak pada bagian muka seperti berkali-kali disebutkan
di atas.
0 comments:
Posting Komentar